Jepang adalah tujuan utama ekspor energi
Indonesia, yang saat ini merupakan pengekspor minyak mentah terbesar di kawasan Australasia, pengekspor batubara
nomer tiga di dunia, dan pengekspor gas alam cair (LNG) terbesar di dunia. Sekitar
separuh dari ekspor minyak mentah, lebih seperempat ekspor batubara dan lebih tiga
per empat ekspor gas alam cair Indonesia
dikirim ke Jepang. Bahkan sebelum memasok ke Korea (1986) dan Taiwan (1990),
seluruh produksi gas alam cair Indonesia
diekspor ke negeri yang sangat mementingkan penggunaan bahan bakar akrab
lingkungan itu. Dari sisi Jepang, dimana
energi merupakan kehidupan ekonominya, pangsa Indonesia dalam impor minyak
bumi, batubara dan gas alam adalah sekitar 10 persen, 7 persen dan 50 persen.
Dari keseluruhan pasokan energi primer
Jepang, impor dari Indonesia menyumbang sekitar 12 persen, angka cukup penting karena Jepang adalah konsumen energi nomer empat terbesar di dunia.
Jepang, impor dari Indonesia menyumbang sekitar 12 persen, angka cukup penting karena Jepang adalah konsumen energi nomer empat terbesar di dunia.
Langkah utama Jepang mengurangi ketergantungan
pada bahan bakar fosil adalah memanfaatkan nuklir, dengan rencana meningkatkan pangsa pembangkitan
listrik tenaga nuklir menjadi 42 persen di tahun 2010 (METI, Jepang). Dengan beroperasinya pembangkit di Shika
tahun 2006 dan 9 reaktor baru di tahun 2008, pada tahun diawalinya penerapan Protokol Kyoto, kapasitas
pembangkitan tenaga nuklir direncanakan mencapai 54.3 GW (lebih dua kali
dari seluruh kapasitas pembangkitan PT
PLN sekarang). Langkah lain adalah meningkatkan pemakaian tenaga matahari,
air, dan sumber-sumber energi terbarukan
(renewables) lainnya. Meningkatkan efisiensi teknologi, mengurangi industri
berat, mengarahkan pengembangan industri
ke yang tidak boros energi, menyubsidi pengembangan teknologi batubara
bersih, memassalkan angkutan umum
berpolusi rendah serta menerapkan baku lingkungan yang makin ketat juga
menjadi kebijakan Namun bagi Jepang,
negara yang efisiensi pemanfaatan energi dan baku lingkungannya telah terdepan
di dunia, langkah-langkah efisiensi
teknologi dan pengetatan baku lingkungan tidak diharap banyak menyumbang dibandingkan upaya mengurangi konsumsi bahan
bakar fosil. Bagi negara pemasok bahan bakar fosil seperti Indonesia, langkah
terakhir dapat berarti pengurangan pendapatan ekspor.
Tantangan eskpor minyak mentah Indonesia ke
Jepang nanti adalah persaingan ketat untuk memperebutkan permintaan yang relatif menurun. Prioritas Jepang terletak
pada mutu tinggi (unsur polusi rendah) dan jaminan pasokan jangka panjang, dengan kemungkinan kawasan Timur
Tengah menjadi pemasok utama. Hanya batubara dengan kadar emisi (karbon dan sulfur) rendah dan berkalori
tinggi saja yang nanti dapat menembus Jepang. Walaupun gas alam akan
semakin dipilih dibandingkan bahan bakar fosil lain, namun upaya
Indonesia memasok LNG akan dihambat oleh upaya
Jepang mengimpor gas alam melalui
pembangunan jaringan pipa dari pulau Sakhalin, daratan Rusia, dan Timur Tengah.
Peluang lain untuk mengkompensasi penurunan
pendapatan dari eskpor energi ke Jepang ada di dalam negeri sendiri. Kini ada momentum untuk membenahi lagi
struktur industri perminyakan agar dapat memberi sumbangan lebih besar kepada negara. Efisiensi pengelolaan industri
batubara nasional masih jauh dapat ditingkatkan, kebijakan harga energi
nasional perlu ditata kembali. Debat lama pemanfaatan gas alam untuk melulu diekspor atau digunakan sebagai bahan bakar dan pengembangan industri petrokimia di dalam negeri perlu diungkap kembali. (Juga, apakah kita perlu terus membiarkan energi bermutu tinggi kita itu untuk dinikmati lebih banyak oleh Jepang atau Korea? Tidakkah mutu lingkungan, derajat kesehatan dan kecerdasan anak bangsa -yang terhambat karena pemakaian bahan bakar bermutu rendah- dapat diberikan bobot lebih penting?)
nasional perlu ditata kembali. Debat lama pemanfaatan gas alam untuk melulu diekspor atau digunakan sebagai bahan bakar dan pengembangan industri petrokimia di dalam negeri perlu diungkap kembali. (Juga, apakah kita perlu terus membiarkan energi bermutu tinggi kita itu untuk dinikmati lebih banyak oleh Jepang atau Korea? Tidakkah mutu lingkungan, derajat kesehatan dan kecerdasan anak bangsa -yang terhambat karena pemakaian bahan bakar bermutu rendah- dapat diberikan bobot lebih penting?)
Prospek hubungan Indonesia-Jepang di bidang
energi mendatang adalah melaksanakan gmekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism), suatu
mekanisme yang digagaskan oleh Protokol Kyoto untuk mewadahi kerja sama
pengelolaan energi-lingkungan-ekonomi antar negara seperti Indonesia-Jepang.
Mekanisme pembangunan bersih adalah
sesuatu yang menjanjikan, namun jalan panjang nampaknya masih harus dilalui
sebelum gagasan Protokol Kyoto itu nantinya dapat diterapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar