Kewajiban
dan Tanggung Jawab Hukum Akuntan Publik
Walaupun seorang Akuntan Publik telah dikenai sanksi
administrasi sebagai konsekuensi dari pelanggaran PMK No. 17/PMK.01/2008, namun
tetap saja pertangungjawaban untuk mengganti kerugian pihak-pihak yang
dirugikan akibat dari pelanggaran tersebut, dapat dilakukan oleh pihak-pihak
yang berhak atas pemenuhan ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran seorang Akuntan Publik
merupakan suatu hal yang sangat penting, khususnya bagi aktivitas berbisnis
secara sehat di Indonesia. Hasil penelitian, analisa serta pendapat dari
Akuntan Publik terhadap suatu laporan keuangan sebuah perusahaan akan sangat
menentukan dasar pertimbangan dan pengambilan keputusan bagi seluruh pihak
ataupun publik yang menggunakannya. Misalnya; para investor dalam
mempertimbangkan serta bahkan memutuskan kebijakan investasinya, para penasehat
keuangan ataupun investasi dalam memberikan arahan pada para investor terhadap
keadaan dan prospek dari perusahaan tersebut, para pemberi pinjaman (lenders)
dalam mempertimbangkan serta memutuskan langkah pemberian ataupun penghentian
pinjaman bagi perusahaan tersebut.
Peran Akuntan Publik lainnya adalah fasilitator dalam
menghadirkan dirinya untuk memfasilitasi setiap potensi aktivitas bisnis yang
melibatkan perusahaan tersebut, pelanggan dalam mempertimbangkan hubungan
sekarang dan kedepannya dengan perusahaan tersebut, pemerintah dalam memberikan
pertimbangan hubungan bisnis ataupun pemberian izin ataupun kualifikasi
sehubungan dengan aktivitas berbisnis dari perusahaan tersebut bahkan karyawan
dari perusahaan tersebut sendiri misalnya, dalam melihat masa depan dari
keberadaannya dalam perusahaan tersebut serta masyarakat lainnya.
Dapat dibayangkan jika seorang investor lokal ataupun asing
memutuskan untuk melakukan langkah investasi dengan mengakusisi sebuah
Perseroan Terbatas di Indonesia, hanya didasarkan pada keyakinannya melihat
penampilan dan juga nama besar serta janji-janji dari pemegang saham Perseroan
tersebut, tanpa melakukan pemeriksaan secara mendalam dan secara cukup terhadap
laporan keuangannya. Sehingga tidak mengetahui fakta yang sangat penting bahwa
sebenarnya Perseroan yang secara tampak terlihat begitu besar karena
memiliki banyak harta di sana sini tersebut, ternyata pada saat yang
sama juga memiliki begitu banyak utang yang jika dikalkulasikan secara teknis
telah berada dalam keadaan insolvent.
Akan tetapi pada sisi lain, bisa pula dibayangkan sebuah bank
yang berdasarkan suatu laporan keuangan yang dihasilkan oleh Auditor Publik,
memutuskan untuk memberikan tambahan fasilitas pinjaman kepada debiturnya.
Dimana pada akhirnya diketahui bahwa laporan keuangan tersebut merupakan
laporan keuangan yang direkayasa untuk menunjukkan bahwa debitur tersebut tetap
dalam keadaan membukukan laba. Padahal keadaan yang sebenarnya dari debitur tersebut
ketika itu sudah mengalami kerugian yang berturut-turut dan telah
berada dalam keadaan keuangan yang sangat kritis.
Kewajiban bagi sebuah perusahaan untuk memberikan gambaran yang
benar tentang status kesehatan keuangannya, sangat berhubungan dengan
konsekuensi hukum dari aktivitas berbisnis (sebagai suatu hubungan hukum).
Dimana konsekuensi hukum itu mengharuskan masing-masing pihak yang terikat
didalamnya untuk dapat memenuhi setiap kewajiban yang diikatkan kepadanya,
tepat seperti yang telah disepakati. Dalam keadaan yang terburuk,
kegagalan dalam pemenuhan kewajiban tersebut, baik sebagai akibat dari tindakan
wan prestasi (1243 KUHPerdata) ataupun Perbuatan Melawan Hukum (1365 KUH
Pedata) yang secara hukum (by law) berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, akan
memberikan konsekuensi penghukuman bagi pihak yang telah melakukan tindakan
wanprestasi ataupun melawan hukum tersebut untuk membayar seluruh kerugian dari
pihak-pihak yang dirugikan dengan menggunakan seluruh harta miliknya, tidak
saja yang telah ada akan tetapi juga yang akan ada.
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat begitu pentingnya
keberadaan dari seorang Akuntan Publik sebagai perwakilan dari kepentingan
publik dalam suatu aktivitas perekonomian, yang tidak saja melibatkan pelaku-pelaku
bisnis pribadi akan tetapi juga melibatkan negara untuk suatu
jangkauan serta konsekuensi aktivitas dan hukum komersial yang berskala
nasional maupun internasional. Sehubungan dengan topik tersebut di atas,
Penulis akan mengkonsentrasikan pembahasannya pada kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam melakukan tugas-tugasnya
selaku seorang profesional yang independen, serta konsekuensi-konsekuensi hukum
apa saja yang memungkinkan terjadi dalam hal kewajiban-kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan ataupun dilanggar.
Walaupun terdapat fakta bahwa ketidakbenaran ataupun
permasalahan-permasalahan sehubungan dengan akurasi kebenaran dari suatu
pernyataan pendapat terhadap laporan keuangan perusahaan banyak dilakukan oleh
akuntan-akuntan publik palsu, ataupun laporan-laporan keuangan yang dihadirkan
dengan memalsukan nama dari Akuntan-Akuntan Publik yang legal, akan tetapi
permasalahan-permasalahan tersebut tidak menjadi area pembahasan tulisan ini.
Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Moral
Pertanggungjawaban seorang Akuntan Publik terhadap kepercayaan
publik yang diberikan kepadanya, menjadi dasar keharusan hadirnya kualitas
kebenaran dari setiap hasil audit ataupun pemeriksaan laporan keuangan yang
dilakukannya. Keharusan dalam memenuhi standar kualitas kebenaran tersebut,
akan sangat berhubungan dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai seorang
professional yang mandiri.
Jika melihat seluruh persyaratan yang wajib harus dipenuhi bagi
seseorang untuk menjadi seorang Akuntan Publik, termasuk juga persyaratan yang
harus dipenuhi dalam memberikan jasa pelayanannya seperti yang diatur dalam
pasal 5 hingga pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No.
17/PMK.01/2008, maka secara teori seharusnyalah keberadaan dan hasil kerja dari
Akuntan Publik tidak perlu diperdebatkan lagi tentang akurasi dan kebenarannya.
Begitu ketatnya persyaratan yang harus dilalui untuk mendapatkan
izin dan kewenangan untuk melaksanaan profesi Akuntan Publik, yang melibatkan
kewenangan dari dua lembaga�yakni Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
dalam menyatakan kelayakan kualitas keilmuan dan penerapan kode etik profesi
seorang Akuntan Publik, dan Menteri Keuangan RI dalam melakukan pengawasan dan
pembinaan terhadap Akuntan Publik begitu juga dengan Kantor Akuntan Publik
(KAP)�menggambarkan sudah
seharusnyalah hasil kerja dari seorang akuntan publik akan memberikan
perlindungan pada setiap anggota masyarakat yang mengunakan ataupun meletakkan
kepercayaan kepadanya dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih jauh, dalam langkah penataan dan peningkatan kualitas
keilmuan dan juga independensi dari seorang Akuntan Publik, Menteri Keuangan
dalam fungsi pengawasan terhadap Akuntan Publik serta juga IAPI dalam fungsi
pengawasan dan pembinaan Akuntan Publik yang menjadi anggotanya, telah pula
membangun begitu banyak ketentuan-ketentuan baik dalam ketentuan Standar
Akutansi Keuangan, Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP), Kode Etik Profesi
Akuntan Publik, dan rangkaian pola pelatihan professional berkelanjutan, seharusnya
sudah semakin memberikan jaminan pencapaian kualitas yang dimaksud tersebut.
Akan tetapi nyatanya, dalam masyarakat masih saja terus terjadi
tudingan terhadap ketidakprofesionalan dari seorang Akuntan Publik. Hal itu
terlihat dengan begitu seringnya Menteri Keuangan RI menjatuhkan
sanksi peringatan hingga sanksi pembekuan izin dari Akuntan Publik seperti pada
kasus-kasus yang terjadi pada bank-bank bermasalah ataupun yang telah dibekukan
beberapa waktu lalu dan juga baru-baru ini.
Dampaknya menimbulkan begitu banyak kerugian bagi pihak-pihak
yang telah secara salah mengambil keputusan-keputusan, akibat kepercayan yang
diletakkan terhadap hasil pekerjaan Akuntan Publik tersebut. Begitu pula dalam
aktivitas profesinya yang berhubungan dengan pernyataan laporan keuangan
perusahaan terbuka di pasar modal, yang sangat menimbulkan kerugian bagi
pemegang saham publik dan pihak-pihak yang menggunakan hasil audit laporan
keungan emiten tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan.
Pelangaran-pelangaran profesi yang terjadi dalam praktek dalam
banyak perdebatan, diduga dan bahkan telah terbukti tidak hanya dikarenakan
kegagalan ataupun ketidakmampuan ataupun kelalaian dari Akuntan Publik untuk
melakukan pemeriksaan ataupun audit laporan Keuangan berdasarkan SPAP sebagai
suatu panduan teknis yang wajib dipatuhi oleh setiap Akuntan Publik dalam
memberikan jasanya, akan tetapi lebih dilatarbelakangi oleh motif-motif yang
berhubungan dengan konflik kepentingan pribadi antara Akuntan Publik dengan
perusahaan yang diperiksanya. Atau bahkan lebih buruk lagi penggunaan Akuntan
Publik tersebut untuk memenuhi kebutuhan dari perusahaan yang menggunakannya.
Keadaan seperti itu memang membuat ilmu ataupun kemampuan
menjadi tidak berarti. Karena manakala kecerdasan moral dari Akuntan Publik
tersebut tidak membentengi kecerdasan intelektualnya dengan baik, maka akan
sangat mudah deviasi profesionalitas tersebut terjadi. Sehingga pelaksanaan
tugas atas dasar prinsip intregritas, prinsip objektivitas, prinsip kompetensi dan
kehati-hatian serta prinsip kerahasiaan tidak lagi dilaksanakan
dengan berbagai ragam alasan dan tujuan tanpa memperdulikan lagi akibatnya bagi
pengguna. Hal seperti ini tidak saja mungkin terjadi pada profesi Akuntan
Publik, akan tetapi bisa saja terjadi pada siapapun, seperti terhadap profesi
Advokat, Appraisal, Adjuster, dan profesi-profesi ataupun pengemban jabatan
lainnya.
Aktivitas-aktivitas dari Akuntan Publik yang tidak benar serta
dilakukan dengan melanggar kode etik profesi serta ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, tidak saja akan memelihara bola ketidakpercayaan masyarakat
terhadap profesi Akuntan publik seperti yang telah terdapat dalam masyarakat
selama selama ini, akan tetapi akan memberikan konsekuensi semakin sulitnya
seorang akuntan publik untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan kerja dalam
penggunaan jasanya oleh masyarakat pengguna.
Tanggung Jawab Hukum Akuntan Publik
Dalam hal terjadinya pelangaran yang dilakukan oleh seorang
Akuntan Publik dalam memberikan jasanya, baik atas temuan-temuan bukti
pelanggaran apapun yang bersifat pelanggaran ringan hingga yang bersifat pelanggaran
berat, berdasarkan PMK No. 17/PMK.01/2008 hanya dikenakan sanksi
administratif, berupa: sanksi peringatan, sanksi pembekuan ijin dan
sanksi pencabutan ijin seperti yang diatur antara lain dalam pasal 62, pasal
63, pasal 64 dan pasal 65.
Penghukuman dalam pemberian sanksi hingga pencabutan izin baru
dilakukan dalam hal seorang Akuntan Publik tersebut telah melanggar
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam SPAP dan termasuk juga pelanggaran kode
etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta juga melakukan pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan bidang jasa yang
diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus dilakukan walaupun
telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumya, ataupun tindakan-tindakan
yang menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran
profesionalisme akuntan publik.
Akan tetapi, hukuman yang bersifat administratif tersebut
walaupun diakui merupakan suatu hukuman yang cukup berat bagi eksistensi dan
masa depan dari seorang Akuntan Publik ataupun KAP, ternyata masih belum
menjawab penyelesaian permasalahan ataupun resiko kerugian yang telah diderita
oleh anggota masyarakat, sebagai akibat dari penggunaan hasil audit dari
Akuntan Publik tersebut.
Ambil satu contoh terhadap fakta tentang sebuah KAP yang
membantu sebuah perusahaan (debitur sebuah bank BUMN yang sebenarnya telah
mengalami kerugian yang sangat dalam dan sudah sangat sulit untuk melanjutkan
operasinya) untuk mendapatkan tambahan kredit dari bank tersebut dengan cara
merekayasa laporan keuangannya, sehingga pada hasil akhirnya ditampilkan dalam
keadaan masih memperoleh laba, dimana pada akhirnya, semua langkah rekayasa
laporan keuangan tersebut terbuka ketika debitur tersebut dinyatakan pailit.
Bank tersebut jelas mengalami kerugian akibat dari keyakinannya terhadap hasil
audit Akuntan Publik terhadap laporan keuangan dari debiturnya tersebut. Jika
Bank tersebut mengetahui status yang sebenarnya dari debiturnya tersebut, maka
Bank itu tidak akan memberikan pinjaman tambahan terhadap debiturnya tersebut.
Dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa Bank tersebut mempunyai
dasar hukum untuk meminta pertanggungjawaban perdata, yaitu pembayaran ganti
rugi dari Akuntan Publik tersebut. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 44
PMK No. 17/PMK.01/2008. Inti
peraturan itu bahwa Akuntan Publik atau KAP bertanggung jawab atas seluruh jasa
yang diberikannya. Tanggung jawab dari Akuntan Publik terhadap konsekuensi dari
hasil Audit Laporan Keuangan yang dilakukannya yang dimaksud dalam pasal 44
tersebut walaupun berdasarkan PMK itu hanya terbatas pada pemberian sanksi
administrasi, akan tetapi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata mewajibkan Akuntan
Publik untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Bank sebagai konsekuensi
dari tindakan melawan hukum yang telah dilakukannya, sehubungan dengan Laporan
Keuangan yang hadir secara menyesatkan tersebut.
Lebih jauh diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata bahwa
pertangungjawaban, dalam konteks tulisan ini, seorang Akuntan Publik
terhadap pihak yang dirugikan, tidak saja untuk kerugian yang
dialami oleh pihak yang dirugikan tersebut sebagai akibat dari perbuatannya,
akan tetapi termasuk juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian ataupun
kekurang hati-hatiannya. Dan dalam pasal 1367 KUHPerdata bahwa Akuntan Publik
juga bertanggungjawab terhadap perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya.
Dari ketentuan KUHPerdata tersebut, dapat di pahami bahwa
walaupun seorang Akuntan Publik telah mendapatkan sanksi administrasi sebagai
konsekuensi dari pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud dalam pasal
62, pasal 63, pasal 64, dan pasal 65 PMK No. 17/PMK.01/2008, akan tetapi tetap
saja pertangungjawaban untuk mengganti-kerugian pihak-pihak yang dirugikan
akibat dari pelanggaran tersebut dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berhak
atas pemenuhan ganti rugi tersebut berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata.
Sayangnya, atas waktu yang terbatas, penulis belum sempat melakukan penelitian
empiris, apakah ada kasus-kasus dimana pihak-pihak pengguna Laporan Keuangan
yang disajikan oleh Akuntan Publik, secara melawan hukum pernah melakukan
gugatan perdata berdasarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum seperti yang dijelaskan
tersebut di atas.
Sehubungan dengan kewajiban untuk mengganti kerugian sebagai
akibat dari Perbuatan Melawan Hukum itu, maka langkah pemenuhan dari ganti
kerugian tersebut berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, mengatur sebagai berikut:
Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan. Pasal itu jelas mengatur bahwa harta
pribadi dari pihak yang dihukum untuk membayar ganti rugi lah yang digunakan
untuk membayar ganti kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum tersebut.
Sehubungan dengan tanggungjawab perdata tersebut, sangat perlu
kiranya diperhatikan bentuk dari badan usaha suatu KAP. Berdasarkan pasal 16
PMK No.17/PMK.1/2008, sebuah KAP hanya dapat berbentuk Perseorangan ataupun
Persekutuan Perdata atau Persekutuan Firma. Mengingat badan usaha yang menjadi
dasar dari KAP tersebut bukanlah berbentuk badan hukum, maka tanggung jawab
terhadap kewajiban untuk mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan,
sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, dibebankan kepada pribadi dari
anggota persekutuan tersebut secara tanggung renteng. Dengan pengertian lain,
bahwa harta yang akan menjadi jaminan pembayaran terhadap pemenuhan ganti-ganti
rugi tersebut adalah harta pribadi dari masing-masing Akuntan Publik dalam hal
KAP yang merupakan badan usaha dalam menjalankan Jasanya berbentuk Perorangan
ataupun Persekutuan Perdata ataupun Persekutuan Firma.
Dalam ketentuan hukum Indonesia, tidak dikenal adanya
pembatasan pertanggunganjawaban pribadi dari anggota persekutuan perdata, baik
yang berbentuk firma ataupun non firma. Artinya dalam hal total dari nilai
kerugian yang dibebankan kepadanya tersebut tidak mencukupi untuk dibayarkan
dari hartanya, maka ada kemungkinan seorang Akuntan Publik untuk dapat
dipailitkan secara pribadi sepanjang ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) dari
Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang terpenuhi. Berbeda halnya di Amerika dan beberapa Negara
lainnya, yang mengenal adanya pembatasan pertanggungjawaban dari anggota
persekutuan perdata dalam suatu badan usaha yang berbentuk Limited
Liability Partnership (LLP).
Potensi pertanggungjawaban secara pribadi ini harus menjadi perhatian
yang sungguh-sungguh dipahami oleh setiap Akuntan Publik untuk dapat kiranya
menghindarkan setiap sikap-sikap yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan
pengaturan Kode etik profesi Akuntan Publik yang berlaku.
Selain konsekuensi Perdata, pelanggaran
sikap profesionalisme yang dilakukan oleh Akuntan Publik juga dapat memberikan
akibat yang bersifat pidana. Pada dasarnya hal ini telah diusulkan oleh
pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang saat ini telah
berada dalam tahap pembahasan akhir. Dimana selain konsekuensi yang bersifat
hukuman sanksi administratif, antara lain dalam pasal 46 RUU Akuntan Publik
tersebut yang memberikan konsekuensi pidana untuk waktu maksimum 6 tahun dan
denda maksimum Rp 300 juta bagi Akuntan Publik yang terbukti: (a) melanggar
pasal 32 ayat 6 yang isinya mewajibkan seorang Akuntan Publik untuk mematuhi
SPAP serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana pelanggar terhadap
hal tersebut telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain; (b)menyatakan
pendapat atas Laporan Keuangan tidak berdasarkan bukti audit yang sah, relevan
dan cukup.
Kemudian (c) melanggar
ketentuan asal 37 ayat (1) huruf g dengan melakukan tindakan yang mengakibatkan
kertas kerja dan sokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pemberian jasa
tidak apat digunakan sebagaimana mestinya, dan juga huruf j dalam melakukan
manipulasi data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan; (d) Atau
memberikan pernyataan tidak benar, dokumen also atau dokumen yang dipalsukan
untuk mendapatkan atau memperbaharui ijin Akuntan Publik atau untuk mendapatkan
ijin usaha KAP atau ijin pendirian cabang KAP.
Ketentuan pidana tersebut secara tegas
ditentang oleh IAPI secara khusus terhadap pengenaan akibat pidana
dalam hal terbukti seorang Akuntan Publik dalam menjalankan tugas profesinya
tidak melakukannya berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam SPAP. Padahal,
konsekuensi dari pelanggaran SPAP tersebut dimata para akuntan publik
seharusnya merupakan suatu pelanggaran yang bersifat administratif sehingga
sepantasnya dikenakan ketentuan sanksi administratif bukan tindakan pidana.
Pada dasarnya, walaupun ketentuan pidana
tidak diatur dalam PMK No.17/PMK.01/2008 dan RUU Akuntan Publik, tetap saja
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Akuntan Publik untuk berprofesi secara
profesional membuka potensi untuk dipidanakan oleh orang-orang yang dirugikan
olehnya. Misalnya dalam hal
terjadinya kedekatan yang sangat antara Akuntan Publik tersebut dengan klien,
atau bahkan juga mungkin pemilik ataupun Akuntan Publik tersebut mempunyai
hubungan keluarga langsung terhadap klien yang menggunakan jasanya tersebut,
ataupun Akuntan Publik tersebut mendapatkan imbalan khusus. Sehingga dapat saja
seorang Akuntan Publik melakukan tindakan kejahatan bahkan antara lain dengan
cara memalsukansurat seperti yang diatur dalam pasal 263 dan pasal
264 KUHP, ataupun melakukan penipuan ataupun kebohongan seperti yang
diatur dalam pasal 378 KUHP, yang dapat dikutip sebagai berikut:
Pasal 263 (1) KUHP: Barangsiapa membuat secara tidak benar atau
memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan
utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
Pasal 378 KUHP: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebiohongan
, mengerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, supaya
member utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan
pidana penjara palaing lama 4 tahun.
Atau jikapun Akuntan Publik tidak melakukan tindak kejahatan
tersebut secara langsung akan tetapi keterlibatannya dalam tindak pidana
kejahatan pemalsuan surat ataupun penipuan tersebut dilakukan dengan
cara turut melakukan ataupun membantu melakukan seperti yang diatur dalam pasal
55 dan 56 KUH Pidana, yang dikutip sebagai berikut:
Pasal 55 ayat (1) KUHP: Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu
perbuatan pidana: Ke-1, mereka yang melakukan menyuruh melakukan
dan yang turut serta melakukan perbuatan; Ke-2, mereka yang dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman ataupenyesatan, atau dengan member
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
Pasal 56 KUHP: Dipidana sebagai pembantu (medepichtige) suatu
kejahatan: Ke-1, mereka yang sengaja membri bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan; Ke-2, Mereka yang sengaja member kesempata,
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Mengingat ketentuan hukum pidana telah diatur secara umum dalam
KUHP, pertanggungjawaban secara pidana tidak perlu harus terlebih dahulu diatur
dalam UU Akuntan Publik, karena secara umum, tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan melakukan ataupun turut serta ataupun turut membantu melakukan
kejahatan, akan memberikan konsekuensi pertangungjawaban pidana terhadap
seorang Akuntan Publik seperti yang dijelaskan dalam pasal-pasal pidana
tersebut di atas. Pemberian hukuman yang bersifat sanksi administratif, secara
hukum tidak dapat menghapuskan akibat pidana yang diancamkan kepada seorang
Akuntan Publik yang terbukti melakukan ataupun terlibat dalam tindakan
kejahatan penipuan ataupun pemalsuan surat tersebut.
Jelas sikap professional dari sang Akuntan Publik timbul bukan
karena rangkaian ancaman hukuman administratif, perdata dan bahkan pidana yang
dapat menjeratnya dalam hal terjadinya pelanggaran tersebut, akan tetapi lebih
karena memang dunia bisnis Indonesia membutuhkan suatu proses perjalanan yang
sehat dan transparan, sehingga dalam hal menyajikan suatu keberadaan suatu
perusahaan melalui laporan keuangannya tersebut, publik sangat membutuhkan
akuntan publik yang benar-benar mempunyai kemampuan yang baik, professional dan
independen dalam menjamin maksimumnya tingkat akurasi kebenaran dari hasil
pernyataan pendapatnya terhadap Laporan Keuangan tersebut.
REFERENSI :
Ricardo Simanjuntak, SH,
2009, ( http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21999/kewajiban%20dan%20tanggung%20jawab%20hukum%20akuntan%20publik
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar